Minggu, 17 September 2017

Kampung Akuarium, Pasar Ikan Luar Batang; Antara Revitalisasi dan Pelanggaran Hak Asasi




pict : sumber google

Pesisir Jakarta menjadi ruang strategis yang menopang sistem anatomi kota metropolitan Jakarta. Selain itu, secara konseptual pesisir Jakarta juga menjadi ruang sosial yang berfungsi sebagai area perhubungan antar pulau bahkan antar negara; sekaligus berperan pula sebagai sentral penangkapan, pengumpulan, pengolahan, bahkan komersialisasi sumber daya laut. (Lihat Ali,1998; rudyansyah,2009; Soemantri,2000; Lapian,2009). Pesisir Jakarta juga tersegmentasi secara kelas sosial. Ditandai dengan berdirinya kawasan industri dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan pemerintah, terdapatnya pemukiman mewah kelas atas yang dibangun di atas tanah hasil reklamasi dan pengubahan lahan hutan bakau dan rawa, juga terdapat pemukiman padat penduduk salah satunya seperti kawasan Luar Batang.
Atas dalih revitalisasi kawasan pemukiman padat penduduk menjadi kawasan ruang terbuka hijau dan normalisasi kali agar bebas dari banjir, Pemprov DKI rupanya tidak gentar dalam melakukan penggusuran terhadap warga kampung Akuarium di Pasar Ikan Luar Batang tanggal 11 April 2016 lalu. Setelah sebelumnya telah dilakukan penayangan SP1 tanggal 30 Maret 2016, disusul SP2 tanggal 6 April 2016 dan SP3 tanggal 9 April 2016 yang dinilai sangat tergesa-gesa. Penggusuran yang sarat akan kecacatan prosedur tersebut jelas tidak memberikan ruang  kepada warga Akuarium untuk bersiap-siap melakukan relokasi. “Rentang waktu pemberian SP sangat cepat. Setelah adanya pertemuan dengan lurah, kami hanya diinfokan bahwa akan ada penertiban di bantaran sungai yang akan dilaksanakan 3 bulan lagi atau sehabis lebaran. Kenyataannya 3 hari setelah pertemuan itu turun SP 1, SP 2 dan SP 3 lalu 3 hari setelah SP terakhir terjadi eksekusi penggusuran rumah warga.” tutur Ibu Dar salah satu warga kampung Akuarium.
Ketiadaan sosialisasi secara menyeluruh tersebut, jelas telah melanggar UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 26 tahun 2007 tantang Penataan Ruang. Pasalnya, warga Akuarium juga mengaku diperlakukan secara kasar dan tidak terpuji oleh aparat Satuan Pamong Praja pada saat melakukan penertiban. Ibu Dar menambahkan, di hari saat penggusuran terjadi, warga kampung Akuarium menggelar salat hajat dua rakaat diiringi tahlil dan tahmid bersimpuh memanjatkan doa agar penggusuran tak akan terlaksana. Tapi yang terjadi warga yang masih mengenakan mukena ditendang oleh aparat, pemuda yang menentang ditarik petugas dan diamankan. Pertikaian yang menyebabkan sebagian warga luka-luka pun tak terelakkan. Bagaimana tidak, sejumlah personel Polri dan TNI dilibatkan dalam penertiban ini yang mana dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai reformasi.
 Selain itu dikabarkan bahwa Pemprov DKI akan melaksanakan penertiban kawasan luar batang setelah rumah susun yang dijanjikan selesai dibangun. Saat mengetahui kabar ini, warga Luar Batang bersama elemen terkait dalam hal ini salah satunya dari Front Pembela Islam (FPI) mengaku akan menentang keras rencana penggusuran dan telah siap jika harus melewati cara-cara serupa seperti kasus Tanjung Priok. “Kami warga luar batang tetap satu kata bersatu untuk mempertahankan wilayah kami dan kami siap jika harus korbankan darah untuk Luar Batang.” tutur salah satu warga Rw 01 Luar Batang, pada 23 April lalu. Selain itu, warga Luar Batang juga mengakui bahwa mereka memiliki setifikat atas kepemilikan tanah yang mereka diami, sehingga menentang keras pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang biasa disapa Ahok itu bahwa pemukiman penduduk warga Luar Batang adalah Ilegal. Ditambah lagi, tidak ada satupun bukti sertifikat kepemilikan tanah atas nama pemda atau termasuk draft salah satu aset yang dimiliki Jakarta. "Tidak ada istilah Negara punya tanah, tapi hanya menguasai dan wajib dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak." Tutur Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum warga Luar Batang pada wawancara di salah satu media.
Saat dikonfirmasi terkait relokasi warga ke Rusunawa yang telah dipersiapkan oleh Pemprov, warga mengaku tidak akan mau direlokasi selain karena lokasi rusun yang jauh dari lokasi tempat bekerja dan lokasi sekolah, rusun yang berbayar, minimnya fasilitas Ibadah, warga mengaku bahwa wilayah Luar Batang adalah satu kesatuan dengan Masjid Keramat Luar Batang yang tidak akan bisa dipisahkan. Karena berdasarkan catatan sejarah, wilayah Luar Batang adalah salah satu pusat penyebaran ajaran Agama Islam khusunya di Jakarta yang dibawa oleh seorang Ulama bernama Habib Husein bin Abubakar Alaydrus pada tahun 1736 M silam. Hingga akhirnya berdiri Masjid Kokoh yang disebut Masjid Keramat yang di dalamnya terdapat makam Ulama Habib Husein bin Abubakar Alaydrus yang sampai saat ini menjadi destinasi peziarah dari berbagai kota di Indonesia bahkan mancanegara. Ini menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki sejarah yang panjang bagi Jakarta.
Selain itu, warga luar batang juga mengaku bahwa hanya warga yang memiliki Identitas KTP DKI Jakarta lah yang bisa mendapat unit rumah susun. Ini jelas telah menciderai amanat UUD 1945 bahwa negara berkewajiban memberi jaminan dan perlindungan sosial kepada setiap warga negara. Apakah bisa dibayangkan? Saat warga yang mengalami penggusuran tidak dapat memperoleh unit rusun hanya karena tidak memiliki identitas KTP DKI Jakarta. Jikalau revitalisasi yang dicanangkan Pemprov DKI Jakarta tapi dengan mengabaikan hak-hak warga negara dan tanpa prosedur yang diatur dalam Undang-undang bahkan sampai mengerahkan aparat dan menggunakan kekerasan, ini jelas sangat jauh sekali dari nilai-nilai reformasi dan kalaupun revitalisasi berhasil mungkin akan menjadi indah saja tanpa warga merasa memiliki wilayah tersebut.

#April2016
#latepost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar